Di kampung dulu, jika ada laki-laki berkunjung ke rumah seorang perempuan malam hari maka tidak menunggu waktu lama untuk digerebek oleh orang-orang kampung. Kemudian saat ada kegiatan gotong royong maka semua orang kampung wajib berpartisipasi jika jarang hadir maka ada teguran atau hukuman pengucilan. Itulah bentuk kontrol sosial di masyarakat yang sangat ketat.
Namun untuk era sekarang ini, ada anak perempuan yang pacaran sampai larut malam bahkan hamil sebelum menikah maka tidak ada lagi rasa malu dan masyarakat juga tidak peduli. Masyarakat terjerumus dalam egoisme dan cuek terhadap sesama. Inilah kontrol sosial yang rendah di masyarakat.
Kontrol sosial adalah pilar yang sangat penting untuk membangun masyarakat. Kepedulian untuk sekedar menegur orang lain, tetangga, saudara ketika terjadi hal-hal yang bersifat mungkar. Jika kepedulian dari hati saja tidak muncul maka sulit untuk bisa memikirkan atau memprogram terhadap pembinaan masyarakat.
Memang sekarang ini untuk kontrol sosial yang tingkat sederhana saja sangat berat. Ada rasa tidak enak, malu, takut menyinggung, tidak mau terganggu hubungan dan takut marah. Sehingga alasan-alasan tersebut menyebabkan orang sekarang enggan dan segan untuk sekedar bertanya kepada saudara atau temannya jika dia berbuat kesalahan.
Saat penulis masih kecil, ada asumsi, persepsi dan begitu penjelasan yang sering terdengar dari orang tua, guru dan tetangga bahwa orang-orang kota itu cuek, egois dan tidak peduli dengan orang lain. Mereka hidup di balik bangunan-bangunan tinggi yang dikelilingi pagar-pagar besi lengkap dengan anjing penunggunya. Banyak diantara masing-masing tetangga tidak saling mengenal. Kerja bakti dan piket malam diganti dengan membayar uang atau pembantunya. Kegiatan-kegiatan sosial kebersamaan juga bisa mereka beli dengan uang karena ada urusan pribadinya.
Namun untuk sekarang ini bukan hanya orang kota, orang kampung, pedesaan dan pegunungan juga hampir seperti orang kota yang tidak mau-mau tahu terhadap masalah orang lain. Entah ini pengaruh tehnologi informasi dan komunikasi yang semakin canggih atau memang zamannya sudah berubah seperti itu.
Orang yang berusaha menegakkan kontrol sosial malah dianggap aneh, kolot, kurang kerjaan dan sok suci. Ini resiko orang yang mau tegakkan kontrol sosial, bahkan mendapat cibiran, cemoohan, kebencian dan permusuhan dari orang-orangg di sekitarnya.
Sehingga semakin sedikit dan semakin takut orang untuk peduli dengan kontrol sosial. Padahal ini basis kehidupan bangsa ini yang terbangun dengan kultur untuk sosial yang sangat tinggi dengan kepedulian sosialnya.
Bisa diprediksi kerusakan masyarakat dari pribadi-pribadi yang rusak menjalar kepada keluarga dan temannya sehingga secara masif menjadi menjadi kerusakan sosial di masyarakat luas. Bangsa ini harus diselamatkan dengan kontrol sosial yang kuat di antara para pribadi, keluarga di masyarakat. Wallahu a’lam
Namun untuk era sekarang ini, ada anak perempuan yang pacaran sampai larut malam bahkan hamil sebelum menikah maka tidak ada lagi rasa malu dan masyarakat juga tidak peduli. Masyarakat terjerumus dalam egoisme dan cuek terhadap sesama. Inilah kontrol sosial yang rendah di masyarakat.
Kontrol sosial adalah pilar yang sangat penting untuk membangun masyarakat. Kepedulian untuk sekedar menegur orang lain, tetangga, saudara ketika terjadi hal-hal yang bersifat mungkar. Jika kepedulian dari hati saja tidak muncul maka sulit untuk bisa memikirkan atau memprogram terhadap pembinaan masyarakat.
Memang sekarang ini untuk kontrol sosial yang tingkat sederhana saja sangat berat. Ada rasa tidak enak, malu, takut menyinggung, tidak mau terganggu hubungan dan takut marah. Sehingga alasan-alasan tersebut menyebabkan orang sekarang enggan dan segan untuk sekedar bertanya kepada saudara atau temannya jika dia berbuat kesalahan.
Saat penulis masih kecil, ada asumsi, persepsi dan begitu penjelasan yang sering terdengar dari orang tua, guru dan tetangga bahwa orang-orang kota itu cuek, egois dan tidak peduli dengan orang lain. Mereka hidup di balik bangunan-bangunan tinggi yang dikelilingi pagar-pagar besi lengkap dengan anjing penunggunya. Banyak diantara masing-masing tetangga tidak saling mengenal. Kerja bakti dan piket malam diganti dengan membayar uang atau pembantunya. Kegiatan-kegiatan sosial kebersamaan juga bisa mereka beli dengan uang karena ada urusan pribadinya.
Namun untuk sekarang ini bukan hanya orang kota, orang kampung, pedesaan dan pegunungan juga hampir seperti orang kota yang tidak mau-mau tahu terhadap masalah orang lain. Entah ini pengaruh tehnologi informasi dan komunikasi yang semakin canggih atau memang zamannya sudah berubah seperti itu.
Orang yang berusaha menegakkan kontrol sosial malah dianggap aneh, kolot, kurang kerjaan dan sok suci. Ini resiko orang yang mau tegakkan kontrol sosial, bahkan mendapat cibiran, cemoohan, kebencian dan permusuhan dari orang-orangg di sekitarnya.
Sehingga semakin sedikit dan semakin takut orang untuk peduli dengan kontrol sosial. Padahal ini basis kehidupan bangsa ini yang terbangun dengan kultur untuk sosial yang sangat tinggi dengan kepedulian sosialnya.
Bisa diprediksi kerusakan masyarakat dari pribadi-pribadi yang rusak menjalar kepada keluarga dan temannya sehingga secara masif menjadi menjadi kerusakan sosial di masyarakat luas. Bangsa ini harus diselamatkan dengan kontrol sosial yang kuat di antara para pribadi, keluarga di masyarakat. Wallahu a’lam