Setiap hari, kita minimal mendengarkan adzan lima kali dari seorang muadzin di masjid sekitar tempat tinggal. Muadzin dengan suaranya yang khas memanggil orang-orang beriman untuk menunaikan shalat wajib berjamaah di masjid. Ini bukan panggilan biasa tapi panggilan untuk memenuhi pengabdian kepada Dzat yang telah menciptakan alam semesta termasuk manusia didalamnya.
Ada tuntunan dari Rasulullah untuk menjawab seruan adzan tersebut dengan menirukan kembali lafadz adzan satu persatu. Ketika muadzin mengumandankan Allahu Akbar maka orang-orang yang mendengar, menjawabnya dengan Allahu Akbar, Asyhadu an laa ilaaha illah, juga dijawab dengan asyhadu an laa ilaaha illah dan seterusnya.
Namun ketika sampai lafadz hayya alash sholah yang artinya marilah tunaikan shalat dan hayya alal falah,yang artinya marilah menuju kemenangan maka yang mendengar tidak menjawab dengan lafal yang sama. Tapi menjawab dengan laa hawla walaa quwwata illa billah artinya tidak ada daya dan kekuatan selain dari Allah swt.
Hikmah dari tuntunan tersebut adalah memberikan kesadaran tauhid. Bahwa untuk bisa menunaikan shalat dan menuju kemenangan itu tidak mudah dan tidak bisa selain karena adanya pertolongan dari Allah. Kesadaran tauhid ini tidak sederhana, ada orang yang hidupnya 20 tahun bertetangga dengan masjid, setiap saat melihat masjid dan orang-orang shalat didalamnya, setiap adzan berkumandan juga selalu mendengar plus dia juga seorang muslim tapi ternyata tidak mampu melangkahkan kakinya ke masjid untuk shalat.
Kemudian sebaliknya, ada orang punya keinginan untuk ke masjid tapi tidak diberi kekuatan karena sakit keras, lumpuh atau sakaratul maut. Ada keinginan tapi tidak diberi kekuatan dan contoh di atas diberi kekuatan artinya sehat tapi tidak diberi kesadaran untuk memenuhi adzan. Maka wajar, kita disuruh menjawab laa hawla walaa quwwata illa billah.
Bagi orang-orang tertentu dan daerah tertentu yang sudah terkondisikan dan mendapatkan petunjuk dari Allah maka suara adzan bahwa sebelum adzan sudah menjadikan otomatis kesadaran untuk menyelesaikan pekerjaan dan berkemas menuju masjid untuk shalat berjamaah. Namun sekali lagi itu karena laa hawla walaa quwwata illa billah.
Ketika kita sudah sadar bahwa untuk bisa menunaikan perintah Allah berupa shalat dan menuju kemenangan itu harus dengan daya dan kekuatan Allah swt. Tanpa itu semua tidak mungkin kita bisa melaksanakannya. Maka elanjutnya kesadaran tauhid tersebut juga harus mengantarkan diri untuk tidak sombong, angkuh atau takabur.
Sebanyak apapun ilmu yang dimiliki, sekuat apapun tenaga yang dipunyai, setinggi apapun jabatan yang diduduki, sekaya apapun harta yang dikuasai, sepanjang apapun gelar yang ada dibelakang namanya. Hakekatnya itu semua ada milik Allah swt, manusia hanya dititipi saja yang jika Allah menghendaki untuk menghilangkannya maka sungguh terlalu mudah melakukannya.
Banyak orang yang mengaku berilmu dengan kecerdasan dan gelarnya, tapi ketika mendapatkan sedikit error syaraf otaknya. Maka sudah hilang semua memori ilmunya dan seperti orang ideot yang tidak mengerti dan tidak mampu mengingat kejadian dua detik sebelumnya. Sudah banyak orang bangga dengan kekayaannya yang dengan mudah Allah hempaskan karena kesombongannya, contoh fenomenal adalah Qorun yang ditenggelamnya bersama hartanya di dalam tanah. Orang yang bangga dengan jabatan dan kekuasaannya juga ada contoh Fir’aun yang juga dibinasakan oleh Allah di laut Hitam.
Apalagi kita yang belum terlalu pintar, ilmu tidak terlalu banyak, kaya juga tidak, jabatan juga masih rendah. Apa yang pantas untuk kita sombongkan dihadapan Allah dan manusia. sehingga dengan laa hawla walaa quwwata illa billah maka harus mengantarkan kepada kesadaran tauhid kepada orang-orang yang beriman. Wallau a’lam bish shawwab.