Ada seorang dosen, selama ini sudah enjoy mengajar dan disukai sebagaian besar mahasiswa ketika mengajar di kelas. Mahasiswa sangat antusias, semangat dan tampak baik-baik saja selama proses pembelajaran di kelas. Si dosen juga merasa enak dan nyaman juga dalam mengajar.
Namun, setelah mendapatkan amanah lebih atau tidak sekedar mengajar lagi tapi diberi amanah untuk menangani beberapa kegiatan di luar pembelajaran di kelas. Maka dia mulai menemukan berbagai masalah yang tidak pernah didapatkan selama mengajar saja di kelas.
Kepalanya mulai pening dan pusing untuk mengatasi permasalahan mahasiswa yang dianggapnya tidak bermoral, ibadahnya juga berkurang. Ternyata selama ini mahasiswa bisa duduk manis di kelas dan mengikuti perkuliahan dengan baik tapi ternyata belum membekas pengaruhnya dalam kehidupan di luar kelas.
Di perguruan tinggi, tempat dia mengajar memang menerapkan boarding school atau berasrama. Pemantauan mahasiswa tidak hanya di kelas tapi di asrama dan masjid dijadikan bagian dari proses pembelajaran yang harus ada sistem dan aturan yang baku.
Sebagaimana pendidikan berasrama maka kehidupan 24 jam adalah dalam bingkai pengawasan dan pendidikan. Tentu ada plus minusnya, tapi untuk pembentukan moral maka pendidikan berasrama lebih memungkinkan untuk bisa lebih berhasil mengkondisikan peserta didik menjadi bermoral.
Sejak awal perguruan tinggi tersebut didirikan adalah berkomitmen terhadap pembangunan moralitas dan spritualitas, bukan hanya intelektualitas saja. Sehingga sistem dan standar keberhasilan mahasiswa bukan hanya diukur dari nilai-nilai angka yang tercantum dalam KHS (Kartu Hasil Studi) tapi prilaku keseharian dan pengamalan ibadah yang dilakukan setiap harinya.
Pembentukan moral membutuhkan mental yang berani, kuat dan kreatif dari pembentuknya (citivitas akademika). Keberaniaan seorang pendidik untuk menegur kesalahan peserta didik, memanggil dan menasehati. Sebab tanpa mental keberanian dari pendidik maka akan selalu ada pembiaran setiap ada pelanggaran yang di terjadi di kalangan mahasiswa. Ketika ada sebuah pembiaran maka tidak akan ada lagi manfaat dari sebuah aturan dan sistem yang terbangun.
Kemudian kuat, tentu bukan kuat secara fisik tapi secara mental untuk mendampingi, mengontrol dan memberikan sangsi ketika ada yang melanggar komitmen. Kuat mental juga bisa diartinya tidak cepat emosi, reaksional terhadap masalah yang terjadi. Sebab kata Rasulullah, “ Orang yang kuat adalah orang yang bisa menahan diri ketika marah”
Selanjutnya modal kreatif. Kemampuan untuk modifikasi sebuah program dan kegiatan yang inovatif dan tidak monoton adalah solusinya. Karena ini berhadapan anak-anak muda yang jam langkah-langkah kakinya panjang, pikiran juga terkadang aneh-aneh. Sehingga kalau terlalu kaku dan rutinitas sebuah program maka menjemukan dan cenderung untuk melanggar.
Meretas moralitas ini tidak mudah membalik tangan. Artinya membutuhkan waktu, metode dan kemampuan ekstra besar. Waktu tidak cukup satu dua hari, bahkan satu dua tahun juga bukan jaminan bisa membentuk atau merubah moral menjadi lebih baik. Karena mengharapkan perubahan dalam waktu yang singkat maka akan instan hasilnya dan juga labil yang perubahan tersebut.
Sehingga terkadang penulis berfikir, tidak perlu banyak teori untuk meretas moralitas mahasiswa tapi kepedulian,pengorbanan dan keberaniaan untuk selalu mengarahkan dan mengontrol mereka. sebab sekali lagi tidak cukup mengharapkan bangku-bangku kelas untuk mengantarkan mereka menjadi bermoral ketika tidak ada anjuran dan keteladanan di luar kelas dari para pendidiknya.wallahu a’lam bish shawwab.