Pelajaran dalam pekan ini dari Allah untuk penulis adalah dipertemukan dengan seorang ibu yang sudah memasuki usia nenek-nenek. Perjalanan tugas penulis ke Pontianak dengan pesawat ke Jakarta untuk transit terlebih dahulu. Sebelumnya penulis sudah menyiapkan rencana dalam perjalanan untuk menuntaskan membaca 1 juz al-Qur'an dan buku spritual teaching yang sengaja dibawa untuk ditamatkan atau tidur nyenyak di pesawat.
Namun Allah berkendak lain, sejak chek in sudah harus berinteraksi dengan ibu tersebut. Awalnya disuruh menunggui barangnya yang lumayan banyak karena dia ada hajatnya di kamar kecil, itu tidak ada masalah karena tidak juga mengangkat-angkat dan memberatkan. Pikir-pikir sambil berbaris antri chek in.
Setelah dia kembali, penulis tidak lagi memperhatikan meskipun dia mengucapkan terima kasih yang tulus. Di ruang tunggu juga tidak melihat dan tidak terpikir untuk mencarinya karena penulis lebbih asyik bercengkerama dengan teman dosen dari samarinda yang punya tujuan sama ke Pontianak.
Saaat di pesawat, Subnallah kenapa harus satu deret kursi dengan ibu itu. Awalnya penulis menanggapi dingin semua pertanyaannya dengan menjawab sekenanya, sebab penulis mau memulai rencana-rencana yang sudah tersusun sebelum naik pesawat. Agak berat untuk menjawab ataupun bertanya dan bertukar pikiran dengan ibu yang penampilannya sangat trendi dan dari golongan menengah ke atas.
Akhirnya penulis terseret dan terjebak dalam perbincangan serius dengan ibu tersebut. Awalnya dia yang aktif bertanya tentang penulis dan kiprahnya, selanjutnya penulis yang sering bertanya karena kiprah dan kisahnya yang menarik. Kepiwaiannya dalam berkomunikasi membuat penulis tidak berdaya untuk larut dalam diskusi terutama masalah agama dan ibadah.
Ternyata ibu itu adalah seorang ibu yang langka. Usianya yang menjelang senja tidak menyurutkan keinginannya untuk syiar dan mendakwahkan ibadah haji dan umroh yang mudah dan murah. Beliau memang seorang penyiar radio, karien menjadi PR, pernah menjadi sekeretaris dan masih bekerja di sebuah asuransi syariah.
Sebenarnya bukan itu yang penulis anggap aneh dan langka. Tapi kesemangatan dan amalan spritualnya, ini tentu terlepas dari ikhlas dan tidaknya dia beramal. Namun dari pancaran wajah dan kehalusan tutur katanya, dia bukan mengada-ada atau berbohong.
Sejak gadis sudah terbiasa bangun jam 02.30 dan shalat lail 11 rakaat, shalat dhuha 8 rakaat. Sejak beberapa tahun terakhir mengistiqomahkan puasa Dawud dengan sehari puasa sehari tidak. Tafakkur dan berdzikir juga senantiasa dilakukan secara rutin. Bershadaqahnya juga sudah menjiwai. Semua dilakukan atas dasar keyakinan bahwa Allah pasti melihat, mendengar dan akan memberi pertolongan kepada hamba yang sungguh-sungguh.
Banyak kali dia membuktikan pertolongan Allah itu nyata dan dekat. Di antaranya saat dia pernah ditipu oleh rekan bisnisnya dengan dibawa uangnya 1.5 M tapi mentalnya bisa stabil, justru rekannya yang sekarang menderita stroke berkepanjangan. Beberapa kali mendapatkan rizki yang tidak terduga sebelumnya.
Penulis selalu menyilipkan pertanyaan, "dari mana memiliki pemahaman seperti itu?" dia menjawab, "Awalnya saat ekonomi keluarganya jatuh terpuruk sangat miskin, dia sebagai anak pertama dari 6 bersaudara. Padahal sebelumnya ibu bapaknya kaya raya tapi ayahnya terjebak judi sehingga bangkrut. Inilah yang membuat dirinya tersadar bahwa semua harus disandarkan kepada Allah, sang pencipta, pemilik dan pengatur alam ini". Sebuah ibrah yang sederhana tapi melahirkan kesadaran luar biasa.
Sekali lagi, penulis merasa tertampar dan malu rasanya. Sebagai orang pesantren kog kalah dalam beramal dengan ibu yang langka itu. Padahal secara keilmuan, pendidikan dan lingkungan, penulis mestinya lebih unggul tapi amalnya koq kalah dengan seorang ibu yang tidak pernah mengenyam pendidikan agama yang memadai. Semoga ini menjadi cambuk untuk memperbaiki diri dan berpacu dalam ibadah. Wallahu a'lam bish shawwab.