Allah mentaqdirkan tempat tinggal penulis dekat dengan bak pembuangan sampah umum. Sehingga saban hari melihat orang membuang sampah dan melihat tumpukan sampah. Kemudian kendaraan truk sampah juga menjadi hafal waktu-waktu kedatangannya.

Namun ada orang-orang yang membuat penulis harus menulis tulisan ini yaitu pemulung. Mereka ada bukan hanya satu orang tapi banyak, lebih dari lima orang yang datang silih berganti. Bukan untuk membuang sampah tapi memilah, memilih dan mengambil sampah-sampah yang menurut mereka bisa dijual kembali kepada tengkulak barang bekas.

Awalnya sebenarnya biasa saja melihat pemulung karena sudah lama profesi itu menjadi alternatif bagi orang-orang yang kesulitan mendapatkan pekerjaan karena pendidikan atau skill terbatas. Artinya sudah sepuluh tahun terakhir ini, banyak orang memilih menjadi pemulung atau pencari barang-barang bekas, termasuk di antaranya adalah sampah.

Profesi pemulung mungkin tidak membanggakan, bukan cita-cita bagi anak-anak bangsa, tidak juga ada yang tega menulis di KTP-nya dengan pekerjaan ‘Pemulung’, sebagian orang masih mengganggap hina dan curiga. Karena ada oknum yang berulah dengan kostum pemulung tapi menjadi pencuri.

Kemudian ketika melihat keragaman dari pemulung itu yang menarik. Hampir semuanya mereka menggunakan sepeda motor, ada yang buntut tapi tidak sedikit yang baru baru (kan dengan 500 ribu uang DP sudah bisa ambil kredit motor baru). Di bagian belakang ada yang menggandeng gerobak kayu, ada yang memasang dua karung yang didesaign untuk bisa muat barang dalam jumlah banyak.

Perlengkapan yang mereka bawa juga semakin menarik yaitu, sarung tangan, penutup mulut atau muka, besi pengait, helm yang dilengkapi senter di kepala seperti pencari benda-benda arkeologi berharga. Mereka menutup kepala dan wajah bukan untuk menutup malu tapi mungkin menghindari berbagai virus, bakteri dan infeksi yang selalu bersentuhan dengan mereka. Tidak jarang mereka juga terlihat ber-HP ria sambil mengorek-korek sampah. Ini menandakan bahwa mereka bukan sekedar mencari sampah tapi sudah mulai ‘profesional’ dalam arti menggunakan alat bantu dan SOP (Standart Operasional Prosedur) ala pemulung tentunya.

Selanjutnya yang menarik adalah jam kerja pemulung. Penulis pernah pergi sebelum Subuh ke kota untuk tugas dakwah, ternyata yang banyak menemani dan penulis temui di jalanan adalah pemulung. Mereka menyusuri dari bak sampah satu ke bak sampah yang lain dengan gerakan cepat dan cekatan.

Mereka bukan hanya satu tapi ada beberapa pemulung dan ini yang menjadi persaingan dan aksi kejar-kejaran untuk saling mendahului. Sebab kalau bak sampah sudah disentuh oleh pemulung maka sudah tidak ada yang bisa diambil oleh pemulung selanjutnya. “Siapa cepat maka dapat” mungkin itu semboyan mereka.

Kemudian, ketika penulis pulang dari kota memasuki tengah malam, ternyata juga bertemu dengan pemulung di pinggir-pinggir jalan atau tepatnya di bak-bak sampah. Apalagi di pagi dan siang hari. Mungkin pemulung di malam hari berbeda dengan yang di subuh hari dan yang di siang hari. Namun yang jelas jam kerja pemulung adalah 24 jam, mereka yang santai-santai dan lambat maka dipastikan tidak banyak mendapatkan sampah.

Penulis terkadang turut senang melihat pemulung membawa tumpukan kardus, plastik, besi atau barang-barang rongsokan lainnya. Betapa senang hatinya dan anak istri juga turut berbangga dengan ayahnya mendapatkan banyak rezeki hari itu. Sebaliknya penulis juga sedih, jika melihat pemulung berjalan gontai dan keranjang sampahnya masih sedikit, rasanya mau membantu atau sekedar menunjukkan tempat-tempat sampah yang banyak sampahnya.

div style="text-align: justify;">
Pemulung yang ulung dituntut untuk disiplin dan bekerja keras untuk mengatur strategi memilih waktu agar efesien waktu dan optimal hasilnya. Mereka tidak bekerja secara manual tapi membutuhkan kecerdasan juga di tengah persaingan banyak pemulung. Mendeteksi tempat-tempat basah yang biasa banyak sampah-sampah produktif.

Mengasah insting penglihatan dan penciumannya untuk melihat dan mencium sampah-sampah. Senantiasa meng-upgrade diri dengan mengikuti pelatihan skill memilih dan memilah sampah dengan cepat (kalau ada). Selanjutnya mungkin harus selalu mengikuti perkembangan pengetahuan melalui media maya, elektronik atau cetak tentang sampah-sampah yang bisa daur ulang dan bernilai tinggi (keren juga kan).

Ternyata pemulung juga ada strata kerjanya, ada pemula, amatiran, profesional dan tengkulak serta terakhir bos besar sampah. Artinya pemulung yang ulung tidak selalu menjadi ulung, mereka bisa menjadi bosnya pemulung dengan bermodal pengalaman dan kepercayaan dari teman-temannya sehingga menjadi kolektor dan memiliki kantor juga.

Bagi orang biasa melihat sampah mungkin jijik dan jorok tapi bagi pemulung melihat sampah seperti melihat tumpukan uang. Mereka bergelut dengan sampah tapi bukan sampah masyarakat. Sampah adalah rezeki bagi mereka dan harapan mereka untuk kita membuang sampah pada tempatnya.

Banyak pelajaran yang Allah berikan melalui pribadi pemulung yang ulung, namanya mungkin penulis tidak kenal tapi jiwa dan etos kerjanya. Kerja keras dan disiplin waktu adalah di antara pelajaran dari mereka. Tidak malu dan gengsi juga bagian dari menjemput rezeki dari Allah, kalau itu halal dan tidak merugikan orang lain, mengapa harus malu untuk bekerja dari pada menjadi pengangguran atau pengemis. Wallahu a’lam bish shawwab.

- Copyright © Pendidikan Gratis Anak Indonesia -Shinpuru v2- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -